Setelah kemarin saya posting bagian disaat awal saya lebih mengenal dengan mawar, kali ini adalah disaat saya akan mengunggangkapkan cintaku kepada mawar. Saat-saat yang tak akan pernah dapat ku lupakan sampai saat ini. Daripada menunggu lama langsung saja ke TKP.
Apabila kalian hendak menyebar luaskan kisah ini, silahkan cantumkan sumbernya yaitu :
- Plusmassal di http://plusmassal.wordpress.com
- Triple Zet di http://joencl.blogspot.com
- Like juga Fanspege "Curhat Massal 17+" di Facebook.
"SHOOT"
hari kamis sekita
jam setengah delapanan aku datang lagi ke puskesmas tempat pamanku
dirawat, tapi bedanya pakaian saya sedikit lebih rapi sekarang.
“gile
lu, mau ngejenguk aja rapi amat” sindir sony.
“aku
mau nembak cewek nih, gimana ya caranya.?” tanyaku padanya.
“mau
nembak cewek aja gak bisa, gimana mau pacaran” kata-katanya memang
ku benarkan karena semalamkan aku nembak lewat hp (sms pula) pasti
rasanya akan jauh berbeda ketika berbica di depan matanya langsung.
Akhirnya setelah di
kasih wejangan-wejangan juara, aku berangkat menuju rumah mawar.
Dengan sejuta
keyakinan.
Dengan semangat yang
membara di dada.
Dengan membaca
bissmillah...mari makan (Lah koq..?).
Aku ingat benar
kata-kata sony waktu itu, kata-kata untuk melepaskan ke medan perang.
Perang antara keyakinan dan keraguan, antara diterima atau ditolak.
“berangkatlah
dengan restuku anak muda” inilah kata-kata yang selalu terngiang di
telingaku, kata-kata yang sudah berumur lebih dari 4 tahun.
Dengan perasaan tak
menentu, ku cari rumah mawar persis seperti alamat yang ia berikan
padaku. Mulailah aku bernyanyi “alamat palsu” ayu tingting
(kesana kemari mencari alamat). Memang pada kenyataan alamat yang ia
berikan padaku adalah alamat palsu.
“Lha...Jembatan..?”
aku terkaget ketika mengetahui alamat yang ia berikan semalam menuju
pada sebuah jembatan, jembatan yang hanya terbuat dari pohon kelapa
ini tak mungkin bisa ku lalui dengan sepeda motor (aku malah mulai ragu apakah yang saya tuju itu alamat seseorang atau sesehantu..??).
“wah
nipu nih” kataku perlahan sambil memutar balik sepeda motorku.
“apa
jangan-jangan yang semalem sms-an denganku itu bukan mawar, tapi...?”
pikiranku mulai ngaco.
“kak
joe” terdengar suara mawar memanggilku, tapi aku tak melihat ada
mawar di jembatan itu. Bulu kudukku semakin berdiri tegak dan
meninggi.
“kak
joe, sini adek disini” suara nya semakin terdengar jelas
dibelakangku.
Segera aku
membalikan badan dan mencari arah suaranya.
“aih,
ternyata memang mataku yang seliwer
bukan alamatnya yang palsu” kataku membatin. Rumah mawar ada tepat
di samping sebelah kananku, saat aku memandang ke jembatan berarti
rumahnya ada di belakangku, wajar jika aku tak melihatnya.
“ngapain
disana tadi.?” tanya mawar ketika aku sedang memarkirkan sepeda
motorku di halaman rumahnya yang tak seberapa luas tapi tersusun
rapi.
“lagi
nyari tempat mau pipis” kataku mengelak.
“pipis
dibelakang aja sana, ngapain pipis di jembatan” terlihat senyum
tipis mengembang dari bibirnya yang manis. (ngeledek ini orang, mungkin saat itu dia sudah tau kalau saya "nyasar").
Kami
terbawa dalam pembicaraan yang sangat panjang. Teringat sebuah
pepatah, yang
menentukan kecocokanmu dengan seseorang adalah ketika kau berbicara
padanya sampai kau lupa waktu.
Dan kami memang telah lupa waktu, sampai-sampai aku hampir melupakan
maksud dari kedatanganku kemari yaitu aku ingin mengungkapkan cinta
padanya.
Ya walau semalam aku
sudah sms-an dengannya dan ia menerima cintaku, tapi tetap saja itu
hanyalah SMS atau Short Massage Service atau pesan pendek, nah karena
kata “pendek” itulah aku takut jika hubungan kami akan lebih
pendek dari sms itu sendiri.
Terasa kurang legal
juga sih jika pacaran hanya lewat sms, kurang afdol kalo' kata
orangtua ku.
Tanpa menunggu waktu
yang lebih lama lagi, sesegera mungkin aku akan mempraktekkan jurus
jitu dari saudaraku tadi.
Pertama
ku pegang erat tangannya, sangat erat seolah aku tak mau
melepaskannya lagi. Seolah jika tangan itu ku lepaskan maka aku akan
kehilangan dia untuk selamanya.
Pada awalnya dia
hanya terdiam, tapi kemudia ia mulai merota sedikit ingin melepaskan
genggamanku, mungkin karena aku terlalu keras menggenggam tangannya.
Tapi sebelum dia melepaskan diri dari genggamanku, segera aku duduk
jongkok di depannya (seperti seorang anak yang akan sungkem dengan
ke-dua orangtuanya). Ku tatap matanya dalam, sangat dalam. Seolah aku
sedang meramal apa yang sedang ia fikirkan. Matanya sedikit terlihat
bingung. Ku ucapkan secara perlahan tapi memastikan dia dapat
mendengarkanku, “maukah kau menjadi pacarku, menjadi pendamping di
setiap hariku, menjadi tujuan dalam semua asa dan cita cintaku”.
“kak”
katanya tak kalah pelan. Beruntung telingaku mempunyai pendengeran
yang sedikit tajam.
Tanpa menunggu ia
melanjutkan kata-katanya ku kecup punggung tangannya dengan mesra dan
penuh cinta, biar ia rasakan sendiri aliran cinta ini. Biar ia
rasakan sendiri bahwa benih cinta telah ia tanam di hatiku.
Masih dalam posisi
seperti tadi (berarti belum berurubah ya) yang bisa ku lakukan hanya
menunggu. Menunggu respon darinya atas perbuatanku tadi : “diterima”
atau “digampar”.
Ternyata dia bilang
“aku mau kok jadi pacarnya kakak”.
Betapa bahagianya
hatiku saat ini. Kumbang yang terbang tak tau arah pulang kini sudah
menemukan mawarnya. Aku seperti terbang di taman yang dipenuhi
bunga-bunga mawar yang sedang mekar.
*** sampai juga pada bagian berikutnya ***