Sebagai
penulis pemula dan pada karya pertama saya ini, izinkanlah saya
memperkenalkan diri saya ini. Semua ini ku lakukan agar tak ada yang
bertanya “siapa sih loe.?” atau “kita saling kenal ya.?”.
Perkenalkan
nama saya Joe (gak usah nanya panjangnya karna bakal sangat panjang
sekali). Cukup hanya menyebut tiga huruf itu sebanyak tiga kali
sehari maka semua hutang kalian akan segera lunas (jika
kalian bayar).
Umur saya baru memasuki angka sebelas pada sebelas
tahun yang lalu (intinya sekarang 22 tahun). Saya seorang karyawan
(masih kontrak) pada sebuah perusahaan swasta (gak ngasih sponsor
jadi gak disebutin ya ^_^ ). ini adalah kisah pengalaman saya untuk
memperjuangkan sebuah cinta, perjuangan yang sia-sia.
Jangan pernah menyalahkan cinta, karena cinta tak
pernah salah. Mungkin saja kita mencintai orang yang salah atau
mungkin kita mencintai dengan cara yang salah. Bisa juga kita sudah
mencintai orang dan dengan cara yang benar tapi di waktu yang salah.
Pengorbanan dalam cinta itu wajar tapi jangan sekalipun
mengorbankan cinta untuk rasa gengsi ataupun rasa-rasa yang lain,
karena sesungguhnya kau sedang mengorbankan dirimu dan orang yang
mencintaimu dalam luka yang seharusnya tak pernah ada.
Cinta
itu sebenarnya tak pernah jauh darimu. Mungkin dia adalah orang yang
baru kau kenal pagi ini tapi bisa saja kalian sebenarnya telah
bertemu pada waktu sebelumnya tanpa kau sadari itu.
Sering
kita dengar sahabat jadi pacar itu menandakan karna orang yang kita
cinta memang tak pernah jauh dari kita. Hanya untuk saran saja
sebaiknya kalian perhatikan dahulu orang-orang sekitar kalian sebelum
kalian hendak mencari cinta kalian lebih jauh lagi.
Mungkin
sebagian dari kalian yang membeli buku ini berkata , saya yang hanya
seorang pekerja atau bisa dibilang buruh swasta dan hanya lulusan sma
saja mencoba menulis buku. Ketahuilah bahwa saya menulis ini hanya
untuk membagi pengalaman saya saja. Jika kalian memang tertarik
dengan tulisan saya sehabis buku ini pasti akan saya tulis buku
lainnya. Bagiku hidp itu berbagi dan berbagi itu indah.
Pernah
sahabat sedikit memberi cambukan ketika saya sedang menulis buku ini
“ah cerita gua lebih seru dari ini” saya hanya bisa berujar
“terus kenapa gak dibukuin juga”.
Mungin
saya hanya sedikit beruntug bagi mereka yang tak bisa membagi kisah
kepada khalayak ramai dan memendam kisah mereka hanya utntuk mereka
sendiri. Setidaknya kisah ini juga akan dibaca oleh anak cucuku kelak
jika memang aku diberi kenikmatan umur yang pajang. Jika memang aku
hanya diberi kehidupan yang terbatas tanpa dapat memberi mereka
nasehat-nasehat seperti yang diberikan oleh ayah dan ibuku setidaknya
dari buku-buku yag akan saya tulis ini saya dapat membagi sedikit
pengalaman saya agar mereka bisa mawas diri.
Bicara
tentang pendidikan akan saya bagi sedikit tapi banyak / banyak tapi
sedikit tentang latar belakang penidikan saya. Saya masuk sekolah
dasar umur 5 tahun lebih 3 bulan, saya hafal sekali kejadian itu
karena sewaktu saya akan masuk saya sempat ditolak kepala sekolah
lantaran umur yang belum memadai.
Begini
kisahnya, bulan juni 1996 saya dan ibu mendatangi rumah kepada
sekolah dasar negeri 1 banjaran.Di rumah Bapak kepala sekolah
tersebut kami diterima dan dijamu dengan sangat baik, lalu setelah
bercakap-cakap sebentar ibu ku menceritakan maksud kedatangan kami
disini.
“begini
pak, anak saya ini mau sekolah di SD N 1 tapi umurnya baru 5 tahun”
kata ibuku.
Terlihat
jelas bahwa pak kepala sekolah tersebut terkejut walau dia tersenyum
“ya, ndak bisa toh, 5 tahun masuk tk dulu aja ya” kata pak Taryo
kepadaku.
Pak
taryo adalah nama kepala sekolahku di sekolah dasar selama 4 tahun
sebelum beliau di mutasi ke SD N 3 Padang cermin.
“aku
ndak mau TK, wong di TK itu cuma gambar ama nyanyi doank” bantahku.
“tapi
kamu belum cukup umur, tanganmu saja belum nyampe kan” katanya lagi
dengan sangat ramah.
Memang
menjadi kebiasaan bagi kami dahulu ketika akan masuk sekolah dasar
adalah melalui sebuah tolak ukur selain usia yaitu ketika tangan kita
dapat menyentuh telinga apabila kita melingkarkannya diatas ubun-ubun
kepala kita (suatu tolok ukur yang tanpa dasar bagiku tapimemang
begitulah kala aku kecil dulu). Aku sudah mencoba belasan bahkan
puluhan kali tapi memang jari tengahku pun tak dapat menyentuh ujung
telingaku.
“tuuh
kan belum nyampe, berarti belum boleh masuk SD” kata pak taryo lagi
mencoba menyapu air mataku yang mulai turun. Ku lihat ibuku hanya
tersenyum melihatku, aku berlari menuju salah satu jendela rumahnya
yang dipagari teralis besi. Aku menangis sambil mencoba menarik
teralis tersebut, aku tak mencoba menjadi samson tapi aku hanya
berharap agar tangaku dapat lebih panjang sedikit dengan cara sperti
itu (apa yang ada dalam pikiranku kala itu, aku hanya tak ingin masuk
TK karna di TK pasti sangat membosankan).
Ibuku
menoba membujuk agar aku tak menangis “udahlah joe, masak gini aja
nangis. Katanya anak lelaki itu pantang memperlihatkan air matanya”.
Tapi
aku sama sekali tak mengindahkan kata-kata ibuku tersebut. Aku hanya
ingin sekolah, tapi bukan TK.
“pulang
yuk, nanti ibu masakin telur sambel deh” ibuku mulai mencoba
merayuku dengan makanan favoritku, tapi semuanya sedang tak berlaku
sekarang.
“joe
nggak mau pulang, joe mau masuk SD” teriakku ditengah tangisan yang
makin menjadi.
“tapi
kata Bapak kepala sekolah tadikan kamu belum bisa masuk SD” memang
benar apa yang dikatakan ibuku itu, tapi kerasnya teralis besi ini
masih kalah keras jika dibandingkan dengan kepalaku (berani adu..?
bocor bayar 5 juta ya).
“terus
jika kamu ndak pulang kamu disini sama siapa?” Pak Taryo mulai
menakut-nakutiku. Semangatku sedang berkobar, setiap jengkal tanah
ini rela ku korbankan dengan nyawaku sekalipun, Merdeka.!
(Lho..kok.?).
“aku
ndak mau pulang, aku disini sendiri juga gak apa-apa, aku minep juga
ndak apa-apa” aku menegaskan bahwa tak ada hal yang dapat
menghentikan niatku.
Setelah
negosiasi yang rumit dan panjang, akhirnya Bapak kepala Sekolah Dasar
Negeri 1 Banjara atau Bapak Sutaryo kala itu luluh juga hatinya
melihat semangatku yang berkobar ini.
“kamu
bisa mulai sekolah besok pagi” katanya lembut.
aku
berlari kesana kemari di dalam rumah “Horeee masuuk eS De”. Pak
taryo dan ibuku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku yang
seperti habis dibelikan baju baru. Baju baru..?
Uuups...aku
belum punya baju seragam sekolah. Alhasil hari pertamaku di sekolah
mengenakan seragam anak tetanggaku.
Aku
tak tau apakah pak taryo kecewa menerimaku waktu itu. Aku yakin bakat
bukan di nilai dari mana dia sekolah tapi dinilai dengan bagaimana
orang tersebut memahami bakatnya sendiri. SD ku bukanlah SD favorit,
karna ada SD negeri lain yang lebih favorit, sekali lagi
keberuntungan seseorang tidak diambil dari seberapa favorit sekolah
tempat dia menuntut ilmu, tapi seberapa favorit dia meminum sianida
(jika beruntung maka selamat, maaf jika Anda kurang beruntung).
Untuk
masalah cinta, mungkin aku terbilang kurang beruntung. Aku sangat
mencintai seseorang yang tak mencintaiku. Cinta yang ku perjuangkan
selama lebih dari empat tahun tak ada arti seperti memang tak pernah
ada cinta diantara kami sebelumnya. Aku tak membencinya dan tak
pernah ada rasa untuk membencinya, tapi aku membenci diriku sendiri
mengapa begitu besar rasa cintaku terhadap seseorang yanng tak pernah
menghargai cintaku ini. Bila aku tidak mencintaimu, aku tidak akan
bertahan sampai sejauh ini. Mungkin pengorbananku bukan dengan darah
dan nyawa, tapi pengorbananku dengan linangan air mata.
Siapapun
anda tolonglah aku. Tolong hapus rasa cinta ini untuknya, Aku hanya
kumbang yang melihat mawarku layu sebelum berbunga. Aku tak sanggup
mencintainya lebih dari ini. Harapanku telah berubah menjadi debu.
Tak ada lagi yang ku harapkan padamu mawar, cukup sudah kau
menyakitiku. Cukup sudah semua ini terjadi. Aku tak bisa memaksanya
mencintaiku lebih dari ini. Aku juga tak mau memaksa diri untuk
mencintai seseorang yang tidak mencintaiku.